Pusara Hariono, warga Tuban yang tewas tertembak di Surabaya (Foto: Anggadia Muhammad/beritajatim.com)
Surabaya (beritajatim.com) – Dua bocah laki-laki asyik bermain di halaman rumah mereka di Tuban, Jawa Timur. Sesekali, mereka menghentikan aktivitas bermain dan terdiam sembari menatap setiap kali ada sepeda motor Yamaha Vixion melintas.
Dua bocah yang masing-masing berusia 6 dan 5 tahun itu berharap pengendara motor itu adalah sang ayah, Hariono (28), warga Tuban yang meninggal akibat ditembak polisi di Surabaya pada Jumat, 2 Desember 2022 lalu.
Keduanya tidak tahu sang ayah tak akan pernah pulang lagi. Kepada dua bocah itu, istri Hariono, Yuli, terpaksa berbohong saat jenazah suaminya dimakamkan dengan mengatakan yang meninggal adalah tetangga mereka.
Mereka juga tak tahu, motor sang ayah sudah dijual untuk biaya operasi akibat luka tembak. Hariono harus menjalani dua kali operasi setelah perut kanannya ditembus peluru dari kanan hingga tembus ke kiri dan menyerempet paha kiri.
Beritajatim.com sempat menyambangi rumah Hariono di Desa Kaligede, Kecamatan Senori, Kabupaten Tuban pada Minggu (18/12/2022). Untuk bisa sampai ke sana menghabiskan waktu sekitar 4 jam dari Surabaya menggunakan kendaraan roda empat.
Setiba di sana, keluarga Hariono menyambut dengan mimik sedih. Ibu korban tak mampu membendung isak tangis.
“Maafkan kesalahan anak saya. Semoga Hariono bisa tenang,” kata ibu Hariono, dengan isak tangis.
Lansia itu mencoba ikhlas melepas kepergian putranya. Pun dengan Yuli yang tak bisa menutupi rasa sedihnya.
Tatapannya kosong saat menyambut beritajatim.com. Ketika ditanya, Yuli sempat hanya terdiam dan melamun. Yang ada di pikirannya sekarang hanya bagaimana membesarkan dua anak tanpa kehadiran sang suami.
Yuli bercerita, bagaimana dia menemani Hariono di saat-saat terakhir. Sebelum akhirnya pria yang sudah mendampinginya menjalin rumah tangga selama 8 tahun itu pergi selamanya.
“Waktu itu, setelah operasi pertama di dr. Soetomo (RSUD dr Soetomo), mas Hariono sempat pulang karena kondisinya sudah membaik. Tapi tiba-tiba ngedrop dan saya bawa ke RSUD Bojonegoro,” ungkap Yuli dengan tatapan mengarah ke tanah dan sesekali mencubit kecil jari-jarinya sendiri.
Sambil mengingat-ingat kejadian itu, Yuli melanjutkan ceritanya. Pada Minggu, 11 Desember 2022 Malam, Hariyono meracau, badannya panas hingga 40 derajat. Yuli kaget, ia pun kondisi kembali merujuk suaminya ke RS dr. Soetomo, Senin, 12 Desember 2022 pagi.
“Sempat panas dan tidak sadar. Dokter bilang karena operasi pertama di Surabaya, jadi lebih baik dibawah ke Surabaya,” kata Yuli, menirukan ucapan dokter saat itu.
Yuli juga mengungkapkan, kondisi suaminya menurun akibat ada infeksi di organ dalam perut. Saat itu, yang ada di pikirannya hanya keselamatan Hariono.
“Kata dokter hasil lab ada lubang di perut sebelah kanannya. Jadi dokter minta tindakan operasi lagi, dengan segala risiko,” papanya, sambil sesekali menghapus air bening yang keluar dari matanya.
Usai menjalani operasi kedua di dr. Soetomo, Hariono tak kunjung membaik. Ia ingat, tangisnya pecah ketika dipanggil oleh dokter dan disuruh berdoa supaya suaminya selamat.
Saat momen itu, ia hanya berpikir jika suaminya akan meninggal.
“Rabu malam ngedrop lagi. Sampai harus menggunakan alat bantu nafas. Terus kondisinya semakin menurun sampai Kamis pagi. Saya dipanggil sama dokter lagi. Dokter bilang, ibu sama keluarga berdoa saja ya, Supaya tidak terjadi apa-apa,” terang Yuli, dengan suara yang semakin pelan. Sampai-sampai hampir tak mampu lagi bercerita.
Sejenak, ruangan tamu rumah berukuran 6×4 itu hening. Bibir Yuli bergetar seolah tak mampu melanjutkan kalimatnya. Semua orang di sana terdiam. Menunggu kekuatan Yuli untuk bercerita.
Maklum saja, setiap penggalan cerita penderitaan suaminya di RS, menjadi pukulan berat di batin perempuan berambut panjang itu.
Yuli menghela nafas panjang. Ia tetap berusaha kuat. Anaknya kembali mendatanginya,dan meminta duduk di pangkuan sang bunda, yang kelak akan membesarkannya seorang diri.
Sambil memeluk anaknya, Yuli berusaha menggambarkan situasi kritis sang suami. Saat itu dokter kembali memanggilnya. Kali ini, dokter memintanya untuk ikhlas.
Bak disambar petir, ia tak percaya jika suaminya tega meninggalkan dia bersama dua anaknya yang masih kecil.
“Sampai sekitar jam 8 malam itu, saya dipanggil lagi. Kata dokter, ibu yang ikhlas ya, bapak sudah nggak bisa lagi (meninggal),” saat itulah tangis Yuli pecah.
Kini Yuli menerima suaminya pergi, setidaknya, Hariono telah berjanji untuk bertanggung jawab terhadap dua anaknya dan yang terpenting, perpisahan cinta mereka karena maut.
Namun, belum usai, kini Yuli juga harus memikirkan tagihan administrasi Rumah Sakit. Padahal sebelumnya dia sudah harus berutang untuk membayar biaya operasi sebesar Rp41 juta.
“Tadi saya dihubungi pihak RS, dr. Soetomo. Saya disuruh datang ke sana. Katanya untuk menyelesaikan biaya administrasi operasi kedua,” beber Yuli, sambil menunjukan percakapan di aplikasi WhatsApp.
Raut wajah Yuli terlihat gelisah, ia bingung harus ke mana lagi meminjam uang. Biaya Hariono selama di RS tidak ditanggung oleh BPJS. Alasannya, karena kematiannya diakibatkan oleh luka tembak polisi.
“Saya belum tahu biayanya habis berapa yang kedua ini. Sebelumnya saja Rp41 juta. Yang kedua ini saya belum tahu. Saya WA belum dibalas,” ujarnya, sambil menunjukkan percakapan di hpnya.
Diakui Yuli, pihak Polsek Sukolilo memberinya uang. Nilainya jauh dari biaya yang harus dikeluarkan Yuli.
“Saya waktu itu dihubungi salah satu polisi. Katanya ada dana kemanusiaan dari Pak Kapolsek. Terus saya diberikan amplop, sama disuruh tanda tangan kuitansi. Isi amplopnya Rp3 juta,” katanya. [ang/beq]
No comments: